Peta lokasi Kabupaten Bantaeng Koordinat: 20 21' 18' Lintang Utara dan 134' 8' Bujur Timur |
|
Provinsi | Sulawesi Selatan |
Dasar hukum | Ketetapan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor: Des 52/2/18-104, Tanggal 4 September 1963 |
Pemerintahan | |
- Bupati | Prof. DR. Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr. |
- DAU | Rp. 263.320.424.000,-(2011) |
Luas | 395,83 km2 |
Populasi | |
- Total | 170.057 jiwa |
- Kepadatan | 429,62 jiwa/km2 |
Demografi | |
- Kode area telepon | 0413 |
Pembagian administratif | |
- Kecamatan | 8 |
- Kelurahan | 46 / 21 |
- Situs web | http://www.bantaeng.go.id/ |
Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang
dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan
Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa.Kabupaten Bantaeng
terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur
sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan
perikanan dan rumput laut.
Kondisi geografis dan kependudukan
Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik
5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur.
Berjarak 125 Km kearah selatan dari Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.
Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 170.057 jiwa
(2006) dengan rincian Laki-laki sebanyak 82.605 jiwa dan perempuan
87.452 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan.
Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi
pegunungan Lompobattang. Sedangkan di bagian selatan membujur dari barat
ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan
persawahan.
Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi
Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut.
Lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten Bantaeng mempunyai
hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara
keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di kabupaten Bantaeng
sebesar 6.222 Ha (2006).
Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng
sangat mengandalkan sektor pertanian. Masuk dalam pengembangan Karaeng
Lompo, sebab memang jenis tanaman sayur-sayurannya sudah berkembang
pesat selama ini. Kentang adalah salah satu tanaman holtikultura yang
paling menonjol. Data terakhir menunjukkan bahwa produksi kentang
mencapai 4.847 ton (2006). Selain kentang, holtikultura lainnya adalah
kool 1.642 ton, wortel 325 ton dan buah-buahan seperti pisang dan
mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama
mengalami peningkatan yang cukup berarti.
Industri dan pariwisata
Sektor industri menjadi pilihan kedua untuk dikembangkan di Kabupaten
Bantaeng yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pengembangan
sektor industri sangat berpeluang dimasa mendatang, namun membutuhkan
investor yang sangat kuat. Dengan perkembangan sektor industri,
dampaknya sangat positif, sebab disamping meningkatkan pendapatan
masyarakat juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri-industri yang
berkembang antara lain adalah industri pembersih biji kemiri, pembuatan
gula merah, pertenunan godongan, pembuatan perabot rumah tangga dari
kayu, anyaman bambu atau daun lontar dan lain-lain.
Sektor lain yang perlu diperhitungkan adalah sektor pariwisata.
Kabupaten Bantaeng memiliki peninggalan sejarah yang tercatat dalam
buku-buku sejarah. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut sangat
menarik untuk dikunjungi. Tak heran memang jika pemerintah kabupaten
setempat sangat menaruh perhatian terhadap pariwisata. Terbukti
direnovasinya berbagai objek wisata alam menjadi tempat menarik, sepeti
permandian alam Bissappu. Juga dipeliharanya peningalan-peninggalan
sejarah seperti Balla Tujua yang merupakan kebanggaan masyarakat
setempat.
Kabupaten Bantaeng terus berpacu dengan daerah lainnya dengan
mengembangkan penataan kota melaui pembuatan taman, drainase, lampu
jalan dan lain-lain.
Sejarah yang terlupakan
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal
Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus
dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan.
Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah
Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang
keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini
memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu
ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat
untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu,
untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira
yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah
daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.
Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh
rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat
mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah
Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya
Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin
seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk
mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi
terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara:
“Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok
datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto.
Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah
kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng
Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh
Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta
Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya,
tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging
kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau
diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian
adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang
hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut;
“Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii,
Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi
kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk
keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya
racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka
semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya
laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini
gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut
gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu
bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon
Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare
yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari
sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan
Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan
bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka
bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah
ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun
kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu
telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang
terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau
Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa,
Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667
terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di
Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai
bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda
tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat
Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan
perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistim Hadat 12 atau semacam DPRD
sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang
(Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan
kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan
wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah
pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur
Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan
autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan
eksis ketika itu.
Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun
500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah
bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas
menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600,
dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali
keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti
Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para
pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4
Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999
tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun
kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa
sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun
1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
1. Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng, yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi, yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua” 2. Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293. 3. Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya. 4. Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung. 5. Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya. 6. Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya. 7. Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya. 8. Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga. 9. Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang. 10. Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya. 11. Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata. 12. Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga. 13. Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona. 14. Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua. 15. Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya. 16. Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge. 17. Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele. 18. Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya). 19. Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle. 20. Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi. 21. Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka. 22. Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang. 23. Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang. 24. Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang). 25. Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing. 26. Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang. 27. Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu. 28. Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung. 29. Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang. 30. Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi. 31. Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala 32. Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang 33. Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya). 34. Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya). 35. Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).
Daftar Kepala Pemerintahan
Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn
UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama
dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960. Adapun pejabat pemerintahan sejak
terbentuknya Kabupaten Bantaeng hingga saat ini adalah sebagai berikut:
- A. Rifai Bulu (1960-1965)
- Aru Saleh (1965-1966)
- Solthan (1966-1971)
- H. Solthan (1971-1978)
- Drs. H. Darwis Wahab (1978-1988)
- Drs. H. Malingkai Maknun (1988-1993)
- Drs. H. Said Saggaf (1993-1998)
- Drs. H. Azikin Solthan, M.Si (1998-2008)
- Dr. Ir. Nurdin Abdullah, M.Agr (2008-sekarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar